PROFIL PENGELOLA

Decky Zulkarnain S.Sos,I, M.M, saat ini aktif sebagai pembimbing rohani sekaligus trainer di Badan Koordinasi Bimbingan dan Rohani Islam Nasional (BKBRIN) yang berpusat di Jakarta. Selain sebagai Trainer Remaja Modul (Motivasi, Team Work, Religious) kini tengah meniti karir sebagai guru Bimbingan Konseling di SMA Labschool Cinere. Sekaligus Pemilik dari Al-Amanah Advertising>>>

TENTANG BLOG INI

Assalamu'alaikum wr. wb.. Selamat datang di Decky's Blog dan selamat berpetualang di blog kami yang kaya akan materi-materi coaching, tips dan trik seputar motivasi dan inspirasi hidup yang lahir dari beragam pengalam maupun studi kasus atas berbagai fenomena menarik yang penuh hikmah >>>

Lihatlah Mereka Tidak Pernah Menyerah so Belief it That You Can Do It

“Kami lalu pergi ke Atari dan berkata, kami punya sesuatu yang istimewa, separuhnya menggunakan sparepart Anda, maukah Anda membiayai kami? Kami cuma mau mengerjakannya, nanti kami berikan seluruhnya kepada Anda. Bayar gaji kami, kami akan bekerja untuk Anda. Mereka bilang: nggak. Lalu kami pergi ke Hewlett-Packard; mereka bilang, kami tidak butuh Anda. Anda bahkan belum lulus kuliah.” (Steve Jobs, founder Apple Computer saat merayu Atari and HP agar mau berinvestasi untuk membuat PC.)

12 penerbit menolak “Harry Potter” karya JK Rowlings sebelum sebuah penerbit kecil setuju menerbitkan “Harry Potter and The Philosopher’s Stone”.

Van Gogh hanya berhasil menjual satu lukisan saja di dalam hidupnya. Itupun, dijual kepada saudara dari temannya seharga 400 franc (sekitar 50 USD). Ini tidak membuatnya berhenti untuk berkarya menghasilkan lebih dari 800 lukisan.

Beethoven biasa memegang biola dengan cara yang aneh dan lebih memilih memainkan karyanya sendiri ketimbang memperbaiki tekniknya. Gurunya menyebut dia sebagai “komponis tanpa harapan”. Ia menulis lima simfoni terkenalnya, dengan telinga yang tuli total.

Decca Records membatalkan kontrak rekaman The Beatles dengan alasan, “Kami tidak suka suara mereka. Grup band dengan gitar bakal segera punah.” Setelah itu, Columbia Records juga mendepak mereka.

Tahun 1954, Jimmy Denny, manajer Grand Ole Opry, memecat Elvis Presley setelah satu kali manggung. Mereka bilang ke Elvis, “Kamu nggak bakal kemana-mana, nak. Sebaiknya kamu kembali menjadi supir truk saja.”

Charlie Chaplin awalnya ditolak oleh berbagai studio di Hollywood sebab pantomimnya dianggap “nonsense”.

Setelah peran pertamanya sebagai bellboy di film “Dead Heat on Merry-Go-Round”, Harrison Ford dipanggil wakil presiden studio film ke kantornya. “Duduklah nak,” ia berkata. “Saya akan bercerita. Saat pertama kali Tony Curtis tampil dalam film, perannya hanyalah mengantarkan sebuah kantong belanja. Kami melihatnya dan kami langsung tahu bahwa ia adalah bintang besar.” Ford membalas, “Saya kira Bapak melihatnya sebagai kurir kantong belanja.” Tuan wakil presiden berdiri dan berkata, “Kamu nggak ngerti juga ya, kamu nggak ngerti juga… sekarang minggat deh dari sini!”

Walt Disney dipecat dari jabatannya sebagai editor di sebuah koran, sebab dianggap “tidak punya imajinasi dan tak punya ide bagus.” Dia bangkrut beberapa kali sebelum membangun Disneyland. Faktanya, taman bermain itu ditolak oleh kota Anaheim dengan alasan hanya akan mengundang manusia sampah dan gelandangan

Michael Jordan berkata, “Sepanjang karir Saya, Saya gagal 900 kali melempar bola. Saya kalah di hampir 300 pertandingan. 26 kali Saya dipercaya untuk melakukan lemparan kemenangan, dan gagal. Saya gagal dan gagal lagi di sepanjang hidup Saya. Itulah sebabnya Saya sukses.”
Saat Bell Telephone Company jungkir balik di masa-masa awalnya, pemiliknya Alexander Graham Bell menawarkan seluruh haknya ke Western Union seharga 100,000 USD. Penawaran itu ditolak dengan balasan, “apa manfaatnya mainan elektronik yang ditawarkan perusahaan ini.”

Albert Einstein tidak bisa bicara sampai berusia 4 tahun dan tidak bisa membaca sampai usia 7 tahun. Orangtuanya beranggapan bahwa dia abnormal. Salah satu gurunya mendeskripsikan Einstein dengan, “mentalnya terlalu lemot, tidak sosial, dan terus bertualang dalam impian bodoh.” Dia dikeluarkan dari sekolah dan ditolak masuk ke sekolah politeknik Zurich. Einstein sangat sedikit belajar bicara dan menulis. Ia bahkan sedikit sekali belajar matematika
Guru-guru Thomas Alva Edison berkata, “dia terlalu tolol untuk belajar apapun.” Dia dipecat dari pekerjaan pertamanya karena “tidak produktif”. Sebagai penemu, Edison membuat 1.000 percobaan yang gagal sebelum menemukan bola lampu. Saat seorang wartawan bertanya kepadanya, “Apa rasanya gagal seribu kali?” Edison menjawab, “Saya nggak gagal seribu kali. Bola lampu ditemukan dengan seribu langkah.”

Winston Churcill harus mengulang di sekolah dasar, dan saat ia memasuki sekolah berikutnya, Harrow, ia ditempatkan di bagian terendah di kelas terendah. Selanjutnya, ia gagal dua kali dalam ujian masuk Royal Military Academy at Sandhurst. Ia kalah dalam pemilihan anggota parlemen. Ia menjadi perdana menteri di usia 62 tahun. Ia kemudian menulis, “Never give in, never give in, never, never, never, never - in nothing, great or small, large or petty - never give in except to convictions of honor and good sense. Never, Never, Never, Never give up.”
Abraham Lincoln berangkat ke medan perang sebagai kapten dan kembali sebagai prajurit. Kemudian, dia gagal sebagai pebisnis. Sebagai ahli hukum di Springfield, dia sangat tidak praktis dan temperamental untuk sukses. Dia beralih ke dunia politik dan kalah pada usaha pertamanya untuk menjadi anggota legislatif, kemudian kalah lagi dalam nominasi menjadi anggota konggres, kemudian gagal menjadi komisioner di General Land Office, kalah lagi dalam pemilihan senator tahun 1854, kalah lagi dalam pemilihan Wakil Presiden tahun 1856, dan kalah lagi dalam pemilihan senat 1858. Dia menulis kepada seorang temannya, “Saya sekarang adalah manusia hidup yang paling menderita. Jika apa yang saya rasakan dibagi rata kepada semua umat manusia, maka tak ada wajah yang ceria di muka bumi ini.”

Strategi untuk Meningkatkan Self Efficacy SISWA

Untuk meningkatkan self efficacy siswa, ada beberapa strategi yang dapat kita lakukan (Stipek, 1996) yaitu :
a. Mengajarkan siswa suatu strategi khusus sehingga dapat meningkatkan kemampuannya untuk fokus pada tugas-tugasnya.
a. Memandu siswa dalam menetapkan tujuan, khususnya dalam membuat tujuan jangka pendek setelah mereka mebuat tujuan jangka panjang.
b. Memberikan reward untuk performa siswa
c. Mengkombinasikan strategi training dengan menekankan pada tujuan dan memberi feedback pada siswa tentang hasil pembelajarannya.
d. Memberikan support atau dukungan pada siswa. Dukungan yang positif dapat berasal dari guru seperti pernyataan “kamu dapat melakukan ini”, orang tua dan peers.
e. Meyakinkan bahwa siswa tidak terlalu aroused dan cemas karena hal itu justru akan menurunkan self efficacy siswa.
f. Menyediakan siswa model yang bersifat positif seperti adult dan peer. Karakteristik tertentu dari model dapat meningkatkan self efficacy siswa. Modelling efektif untuk meningkatkan self efficacy khususnya ketika siswa mengobservasi keberhasilan teman peer nya yang sebenarnya mempunyai kemampuan yang sama dengan mereka.

Konseling with self efficacy

Berikut ini adalah saran-saran bagi konselor dalam mengaplikasikan teori self-efficacy dalam praktek konseling.
1. Konselor yang belum yakin tentang cara merancang intervensi berdasarkan teori self-efficacy dapat mulai dengan memperhatikan dan mencatat bidang-bidang perilaku di mana klien memiliki persepsi tentang ketidakmampuannya yang dapat membatasi pilihan karir dan pencapaiannya.

2. Jika klien memiliki persepsi ketidakmampuan dalam beberapa ranah perilaku, konselor sebaiknya mengintervensi ranah-ranah perilaku itu satu persatu. Langkah pertama intervensi itu adalah konselor mengidentifikasi sumber-sumber local yang dapat memberikan kesempatan bagi klien untuk mencapai keberhasilan kinerja (performance accomplishment). Sumber local itu dapat berupa program pendidikan luar sekolah yang menawarkan keterampilan yang sesuai dengan minat klien.

3. Untuk membantu klien mengembangkan social confidence, konselor dapat mempelajari buku-buku tentang pelatihan keterampilan social atau membantu klien mengembangkan serangkaian tugas social yang bertahap, yang dapat dipergunakan oleh klien untuk mempraktekkan kompetensi yang sedang dikembangkannya. Ini dapat dilakukan dalam kelompok, seperti dalam kelompok assertiveness training, kelompok pelatihan komunikasi dan keterampilan interpersonal, dan public speaking, di mana para anggotanya sama-sama merasa memiliki rasa kurang percaya diri.

4. Konselor harus mendampingi klien pada saat mereka sedang berlatih dengan keterampilan barunya itu, dan siap memberikan dorongan dan dukungan jika klien mengalami kegagalan.

5. Untuk memberi kesempatan vicarious learning dan modelling, konselor sebaiknya dapat menghadirkan orang yang sudah berhasil dalam bidang yang sedang dipelajari oleh klien.

6. Konselor harus menguasai teknik-teknik dasar pengelolaan kecemasan seperti relaksasi otot dan positive self-talk, yang dapat dipelajari oleh klien untuk menghadapi kinerja yang ditakutinya. Sebagaimana halnya dengan setiap keterampilan baru, konselor akan mengembangkan penguasaan komponen-komponen untuk intervensi self-efficacy melalui pengalaman dalam membantu klien mengatasi permasalahan akibat rendahnya tingkat self-efficacy. Didi Tarsidi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Self Efficacy

Semakin kuat persepsi self efficacy semakin giat dan tekun usaha-usahanya. Ketika mengahadapi kesulitan, individu yang mempunyai keraguan diri yang besar tentang kemampuannya akan mengurangi usaha-usaha atau menyerah sama sekali. Sedangkan mereka yang mempunyai perasaan efficacy yang kuat menggunakan usaha yang lebih besar untuk mengatasi tantangan (Bandura 1986). Penilaian kemampuan sangat penting bagi individu, individu yang menilai terlalu tinggi kemampuannya bila melakukan kegiatan yang tidak dapat diraih akibatnya ia mengalami kesulitan untuk menurunkan kredibilitasnya dan menderita kegagalan. Sebaliknya individu yang menilai terlalu rendah kemampuannya akan membatasi dirinya dari pengalaman yang menguntungkan, untuk itu individu harus memperoleh pengetahuan diri berkenan dengan kemampuan, kecakapan fisik, dan keterampilan untuk mengatasi situasi-situasi yang dijumpainya sehari-hari.
Bandura, A (1986). Social Fondation Of Though and Action : a. Social Teory. Anglewood Cliffs, NJ : Prentice Hall.

BAB I
1.1. Latar Belakang Masalah
Majunya sebuah industry tidak hanya didukung oleh teknologi yang maju, meskipun dengan kemajuan teknologi kita mendapatkan berbagai kemudahan terutama dalam hal efisiensi kerja. Namun, diberbagai negara terutama Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup banyak dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak sebanding, kemajuan teknologi justru dapat menjadi ancaman dikarenakan peran manusia sebagai pelaksana produksi mulai tersingkirkan oleh mesin-mesin kerja yang lebih cepat, akurat dan berbagai macam alasan efisiensi lainnya.
Sebagai sebuah negara dengan wilayah geografis yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai etnis dan budaya yang berbeda, Indonesia dihadapkan pada beberapa masalah diantaranya dengan perbedaan tersebut berpeluang memicu terjadinya class civilization atau benturan budaya yang diakibatkan kultur budaya yang berbeda ketika mulai bersinggungan dalam sebuah sistem.
Permasalahan dunia kerjapun dihadapkan pada ketersediaan Sumber Daya Manusia yang memiliki kompetensi unggul. Hal tersebut disebabkan karena tidak semua penduduk Indonesia memiliki kesempatan yang sama mendapatkan pendidikan yang baik. Di samping itu pula, hilangnya kepercayaan dari sejumlah orang, dengan kemampuan financial yang cukup terhadap institusi pendidikan kita yang dinilai kurang cukup memenuhi standar international. Hal tersebut menyebabkan mereka lebih memilih alternatif pendidikan sekaligus berkarier di luar negeri.
Hal tersebut, menuntut dunia pendidikan didalam negeri untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka untuk dapat bersaing dan menyetarakan dirinya dengan standar international. Tuntutan akan penyediaan kualitas pendidikan yang bertaraf international, menuntut setiap intitusi didalamnya berbenah diri meningkatkan infrastruktur pendukung mulai dari penyediaan fasilitas pendidikan penunjang hingga penyediaan SDM yang memiliki kompetensi unggul guna menjawab kompetis yang terjadi.
Pemerintah pun tidak tinggal diam, munculnya undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (undang-undang SISDIKNAS), manajemen, kurikulum, sertifikasi profesi guru dan dosen hingga undang-undang badan hukum pendidikan yang diharapkan dapat memacu kinerja dan profesionalisme guru khususnya pegawai negeri sipil. Dalam bidang manajemen, sekolah dituntut mampu melaksanakan manajemen berbasis sekolah (MBS). Dalam bidang kurikulum, sekolah dipacu untuk mampu melaksanakan kurikulum baru; tahun 2003-2006 penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) hingga tahun 2006 hingga sekarang yang menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan nasional, disamping pula sebagai upaya menjawab tantangan zaman akan pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas yang dihasilkan dari pendidikan yang berkualitas pula. Sebagai wujud keseriusan pemerintah akan hal tersebut pemerintah memberikan komitmennya akan peningkatkan anggaran pendidikan melalui rancangan anggaran pembelanjaan negara (RAPBN)nya hingga 20 %. Hal ini berpengaruh penting dalam mendukung program pemerintah wajib belajar 9 tahun. Subsidi pendidikan pun ditingkatkan, hingga kini biaya pendidikan untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dibebaskan, program pembiyaan bantuan operasional sekolah (BOS) pun digelontorkan
Sebagai contoh dari keseriusan pemerintah mendorong masyarakat khususnya para pelajar untuk meningkatkan mutu mereka, pemerintah setiap tahun meningkatkan standar nilai kelulusan sebagai contoh untuk tingkat SMA untuk tahun pelajaran 2006-2007 (4.00), tahun pelajaran 2007-208 (4.50) sedangkan tahun pelajaran 2008-2009 ditingkatkan hingga rata-rata 5.00.
Kebijakan-kebijakan pendidikan yang diterapkan diatas bukanlah tanpa kendala. Dunia pendidikan masih dihadapkan pada kendala pada pemerataan sosialisasi program, pembiayaan, dukungan fasilitas pendidikan yang setara hingga kepelosok negeri hingga pemenuhan standar SDM guru yang professional. Sebagai contoh dengan diterapkannya undang-undang badan hukum pemerintahan pasal 55 UU BHP yang mewajibkan setiap BHP untuk membuat perjanjian baru dengan guru sebagai sistem kontrol, alat evaluasi untuk mendorong guru lebih bermutu.
Penerapan sistem, penerapan aturan dan regulasi pemerintah yang baik apakah dapat menjawab tuntutan akan pemenuhan kualitas pendidikan yang bermutu hingga bertaraf internasional? Tanpa didukung perhatian penting pada sumber daya manusia yang menjadi pelaku pendidikan yang berperan penting dalam menyukseskan upaya-upaya tersebut. Guru sebagai kunci dalam penggerak roda pendidikan nasional berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Sehingga dibutuhkan upaya maintenance terhadap sumber daya manusia guru.
Peran penting guru dalam penyelenggaraan pendidikan nasional menuntutnya memelihara dan meningkatkan kinerja dan prestasi kerjanya sehingga kualitas pengajaran dan pendidikan yang disampaikannya dapat optimal. Kinerja guru dalam memberikan pelayanan pendidikan sangat berpengaruh penting dalam upaya menciptakan generasi bangsa yang bermutu dan mampu bersaing ditengah-tengah tingkat kompetisi yang meningkat pula.
Tuntutan akan kualitas kinerja pengajaran guru menuntut pula pemenuhan akan kebutuhan pelatihan dan pendidikan guru dalam menyetarakan pengetahuannya setaraf dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan terkini. Terutama pemenuhan terhadap kepuasan kerja yang dapat mempengaruhi kinerja guru.
Guru sebagai komponen utama pendidikan membutuhkan pemenuhan faktor-faktor kepuasan kerja. Adanya pemasalahan dalam penerapan sistem pendidikan dan kendala yang dihadapi diantaranya:
Kurangnya fasilitas pendidikan yang belum merata,
Kontrol terhadap kinerja dan supervisi pendidikan yang kurang berjalan optimal
Faktor kesejahteraan guru yang kurang terutama adanya gap antara kesejahteraan guru pegawai negeri sipil, honorer, guru bantu dan swasta.
Sikap dan loyalitas terhadap pekerjaan yang rendah, ketidak nyamanan dalam bekerja terutama benturan kepentingan antara pihak yayasan dan guru sebagai penyelenggara pendidikan (institusis swasta),
Hubungan kerja yang kurang harmonis karena jarangnya dilakukan gathering karyawan untuk membangun keharmonisan dalam bekerja,
Kondisi kerja yang tidak nyaman mulai dari fasilitas pendidikan, ruangan, hingga kesehatan,
Jaminan sosial yang tidak terpenuhi, tunjangan dan career path yang tidak jelas
Disamping itu pula faktor penting yang turut menghambat kinerja guru selain dari faktor kepuasan kerja diatas yakni kurangnya training and development yang dilakukan. Hal ini menyebabkan kurangnya adaptasi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman. Tantangan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan baru, membutuhkan tenaga terampil dalam pemanfaatannya hal ini lah yang belum dapat dimaksimalkan penerapannya dalam dunia pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru yang rendah dalam melakukan alih pengetahuan tanpa mengadopsi kemajuan teknologi akan menghambat kinerja guru. Selain itu, kemampuan dalam mengontrol murid dan mendorong murid untuk memaksimalkan proses belajar membutuhkan pendekatan khusus terlebih dengan zaman dan akses teknologi informasi yang berbeda era menjadi gap antar generasi yang menjadi penghambat komunikasi antar guru dan siswa
Beberapa permasalahan dan kendala yang dihadapi guru dalam memberikan pelayanan akademik yang maksimal tentunya akan menghambat cita-cita bangsa dan negara ini dalam upaya-upaya meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan nasional.
Sekolah Avicenna Cinere sebagai sebuah institusi pendidikan dan brand baru menghadapi tantangan besar dalam menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan bermutu. Sekolah Avicenna Cinere berupaya memberikan pelayanan akademis terbaik untuk putra-putri bangsa dalam mencapai cita-citanya. Namun, sebagai sebuah institusi yang baru saja mengalami proses akuisisi dari yayasan dian ilmu pemilik hak frenchisee atas “Labschool Cinere” tantangan tersebut tidaklah mudah. Kini seluruh pengelolaan sekolah dibawah naungan pemilik baru yaitu medco foundation sebagai bagian dari program corporate social responsibility Medco Group. Dibawah naungan medco foundation inilah banyak terjadi perubahan mulai dari perubahanbrand menjadi Sekolah Avicenna Cinere, sistem pengelolaan dan budaya sekolah. Perubahan yang terjadi ternyata tidaklah semudah yang dikira, akibat dari perubahan sistem pengelolaan dan penerapan budaya baru ini ahirnya banyak menimbulkan konflik kerja. Konflik demi konflik terjadi seiring dengan proses transisi perubahan sistem pengelolaan dan penerapan budaya baru di sekolah. Akibat dari itu banyak terjadi penolakan dan ketidakpuasan terhadap sistem yang dibangun yang berakibat pada menurunnya kinerja pelayanan akademik. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya proses belajar mengajar dan menghambat pelaksanaan program kerja yang telah direncanakan. Peneliti mencoba meneliti pula apakah self efficacy yang dimiliki guru sekolah Avicenna Cinere pun dapat mempengaruhi kinerja pelayanan akademik meskipun dengan kondisi kepuasan kerja yang rendah. Self efficacy sendiri menarik untuk diteliti, melihat guru sebagai profesi pendidik dan pembimbing yang memiliki tantangan berat dalam menciptakan generasi bangsa yang unggul. Melihat fenomena dan latar belakang masalah diatas sehingga penulis menjadikannya judul dalam penelitan tesis ini yaitu; “Pengaruh Self Efficacy Guru dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Pelayanan Akademik”

1.2. Perumusan Masalah
Latar belakang masalah penelitian, penulis merumuskan beberapa masalah yang menjadi objek kajian penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana self efficacy guru, kepuasan kerja dan kinerja pelayanan akademik guru
2) Sejauhmana pengaruh self efficasy guru terhadap kinerja pelayanan akademik
3) Sejauhmana pengaruh kepuasan kerja guru terhadap kinerja pelayanan akademik
4) Sejauhmana pengaruh self efficasy dan kepuasan kerja guru secara bersama-sama terhadap kinerja pelayanan akademik.
1.3. Maksud danTujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan :
1) Mendeskripsikan self efficacy guru, kepuasan kerja dan kinerja akademik
2) Mengetahui secara empirik pengaruh self efficacy terhadap kinerja pelayanan akademik
3) Mengetahui secara empirik pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja pelayanan akademik
4) Mengetahui secara empirik pengaruh self efficacy dan kepuasan kerja terhadap kinerja pelayanan akademik
1.4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Manfaat dan Kegunaan penelititan ini adalah :
1) Sebagai bahan kajian untuk menambah wawasan dan media evaluasi terhadap program-program training yang dilaksanakan
2) Bagi Sekolah Avicenna Cinere empunyai gambaran akan faktor-faktor penting yang mempengaruhi kinerja guru dan signfikansinya sehingga dapat menerapkan kebijakan yang tepat dalam menciptakan kondisi kerja dan kinerja pelayanan akademik yang maksimal
3) Dapat menjadi salah satu masukan bagi ilmu pengetahuan secara umum terkait permasalahan yang dibahas dan rujukan penelitian selanjutnya serta memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
1.5. Sistematika Penulisan
Bab II
2.1. Sejarah Sekolah Labschool Avicenna Cinere
Hampir 14 tahun yang lalu, ketika yayasan Dian Ilmu memulai kiprahnya, masih jarang lembaga sejenis yang hadir di kota Depok Jawa Barat. Sebagai salah satu lembaga sosial keagamaan yang diprakarsai para kaum cendikia yang peduli terhadap perkembangan umat seperti kegiatan social, ritual keagamaan yang berpusat di Masjid Raya Cinere.
Pada tahun 1994 oleh pengurus Yayasan Dian Ilmu yang diketuai Bapak Rusdi Latief telah didirikan sebuah lembaga penddikan bernama SMA Islam Dian Ilmu seiring berjalannya waktu dan upaya dalam peningkatan mutu pendidikan di era global yang penuh kompetitif, Yayasan Dian Ilmu telah melakukan langkah besar yaitu melakukan kerja sama degan Yayasan Pembina Universitas Negeri Jakarta (YP UNJ) selaku pemilik sekolah-sekolah LABSCHOOL. Implementasi kerja sama (MoU) antara Yayasan Dian Ilmu dan YP UNJ dalam pengelolaan dan pengembangan SMP SMA Labschool Cinere termasuk system manajemen dan program pendidikan dari LABSCHOOL
Tahun 2003 Yayasan Dian Ilmu melakukan perluasan dengan menambah area bangunan gedung seluas 2725 m2 yang diperuntukkan membangun gedung SMA Labschool Cinere. Sejak itulah SMP dan SMA Labschool Cinere mulai menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga yang peduli terhadap dunia pendidikan dan dinamika kontemporernya.
SMA Labschool Cinere sejak bulan Januari 2007 kini diambil alih pengelolaan dari Yayasan Dian Ilmu ke Yayasan Pendidikan Medco (YPM), Upaya peralhan tersebut merupakan wujud kepedulian dari MEDCO ENERGY sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan pengembangan energy melalui YPM yang menjadi bagian dari SCR Social Coorporate Responsibility
Seiring berjalannya waktu kemudian terjadi pengalihan tanggung jawab frenchise oleh Yayasan Dian Ilmu kepada Yayasan Pendidikan Medco sekaligus mengakhiri kerja sama frenchise Labschool dengan YP UNJ. Kemudian Yayasan Pendidikan Medco mengembangkan brand dengan nama baru bernama Sekolah AVICENNA yang merupakan bagian dari program CSR “Coorporate Social Responsibility” dari MEDCO ENERGY. Pada tahun ajaran 2007-2008 Yayasan Pendidikan Medco melakukan restukturisasi organisasi yang ada terutama pada tingkat Pimpinan Unit dan Badan Pengelola Harian. Namun sebelum restrukturisasi YPM melakukan analisis penempatan dengan mendatangkan konsultan pendidikan terpercaya untuk melakukan analisis SWOT dalam melakukan posisioning jabatan sekaligus scaning terhadap organisasi yang telah ada selama pengelolan YDI yang dirasa memiliki banyak kendala dalam pengembangannya sehingga dirasa perlu untuk melakukan restrukturisasi. Konsultan pendidikan memulai kerjanya dengan melakukan wawancara terhadap setiap guru mata pelajaran mengenai bidang study dan kendala yang dihadapi, wawancara pun dilakukan terhadap seluruh stake holder yang ada termasuk diantaranya siswa dan wali murid. Hasil rekomendasi dari konsultan pendidikan yang telah melakukan pekerjaannya dengan baik menyimpulkan untuk dilakukannya perubahan di dalam struktur Organisasi baik dalam tingkat pengelola hingga tiap-tiap unit yang dinaunginya.
2.2. Visi dan Misi
Dalam melakukan pencapaian organisasi maka dibuatlah visi dan misi sekolah, adapun visi dan misinya adalah sebagai berikut:
2.2.1. Visi
Sekolah dengan karakter unggul berbasis Sains, Teknologi dan Lingkungan
2.2.2. Misi
1) Memberikan layanan pembelajaran dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa untuk embentuk siswa/I yang memiliki budi pekerti dan akhlak mulia
2) Membentuk warga sekolah yang sehat jasmani dan rohani
3) Menciptakan lingkungan sekolah yang berbasis sains dan teknologi tepat guna
4) Membawa warga sekolah peduli terhadap lingkungan hidup
5) Memberikan layanan belajar berbasis sains dan teknologi tepat guna
6) Membangun kesadaran warga sekolah untuk menerapkan dan memanfaatkan teknologi tepat guna
7) Membangun warga sekolah yang berkarakter, kreatif, mandiri, berwawasan, kebangsaan dan global serta memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh
8) Menumbuhkan jiwa Wirausaha (Enterpreneurship)
2.3. Struktur Organisasi
Struktur ORganisasi dari Sekolah AVICENNA Cinere adalah sebagai berikut:


































2.3. Bidang Pelayanan
Dalam Operasional kegiatannya Sekolah Labschool Avicenna Cinere menyelenggarakan program pendidikan untuk tingkat Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Pertama
2.4. Fasilitas Pendidikan
Fasilitas pendidikan dibawah naungan Medco Foundation banyak mengalami perbaikan fasilitas. Dengan mengusung sekolah berbasis IT dan Kesehatan Lingkungan kini sekolah Labschool Avicenna Cinere dilengkapi dengan fasilitas ruang yang mengadospi hal tersebut dimulai dengan perbaikan fasilitas kantin yang lebih sehat dan hygienis bahkan menjadi prototype kantin sehat ini kini lebih tertata rapih lengkap dengan beberapa fasilitas diantaranya; tong sampah, wastafle, dapur bersih hingga pemeriksaan rutin oleh tim medis terhadap menu yang disajikan agar sesuai dengan kebutuhan sehat siswa-siswi. Dalam hal medis sekolah kini dilengkapi dengan fasilitas medis yang cukup lengkap berupa klinik sekolah dengan terdiri dari 1 orang okter dan 1 orang perawat.
Sebagai penunjang pendidikan sekolah dilengkapi masing-masing dengan laboratorium fisika dan biologi lengkap pada masing-masing unitnya. Tidak lupa laboratorium Bahasa dan komputer. Unutk mendukung enyediaan fasilitas IT seluruh lingkungan sekolah telah dilengkapi dengan fasilitas Hot Spot Area.
Fasilitas perpustakaan juga tersedia dimasing-masing unitnya dan terhubung semua dengan koneksi internet.
Fasilitas lain yang disediakan terdapat diantaranya; ruang ekstra kulikuler seperti ruang tari dan senam, ruang band dan lapangan footsal dan basket.

















Bab III
KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Deskripsi Teoritik
3.1.1. Hakikat Kinerja
Kinerja berasal dari kata performance (bahasa inggris) yang arti harfiahnya adalah unjuk kerja atau kemampuan yang diperlihatkan dalam bentuk perilaku. Chourmain (1999) menyatakan bahwa kinerja sebagai kegiatan yang dilakukan dengan sesuatu perilaku yang terjadi dalam konteks dan menimbulkan hasil/ dampak yang dilaksanakan secara kompeten serta dicapai dengan tuntas. Menurut pendapat tersebut ada lima kriteria yang harus dipenuhi untuk menyatakan kegiatan yang dikatakan kinerja, yaitu: 1) munculnya perilaku, 2) konteks, 3) mempunyai hasil / dampak, 4) kompeten dan 5) dicapai dengan tuntas. Pendapat ini menjelaskan bahwa hasil kinerja harus dapat memunculkan perilaku pada pendengar yang sedang mengikuti siaran tersebut. Hal ini berarti adanya konteks yang dihasilkan dari hasil perilaku sehingga dapat menimbulkan dampak tertentu. Hasil dari proses kinerja itu sendriri haruslah kompeten dengan karakteristiknya dan hal ini dicapai secara tuntas. Hal tersebut menyimpulkan bahwa profesi apapun yang dilakukan seorang dapat dikatakan mempunyai kinerja, jika memiliki lima unsur, yaitu; perilaku, konteks, dampak, tuntas, dan kompeten. Guru merupakan salah satu profesi pekerjaan yang mempunyai kinerja, karena aktivitas yang dilakukan seorang guru memiliki pola perilaku yang diperlihatkan yaitu, proses belajar-mengajar yang disampaikan secara tuntas untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sehingga dapat berdampak sesuatu dengan ditunjang dengan kemampuan professional seorang guru sebagai profesi yang dituntut kompetensi nilai tertentu.
Robert dan Jhon (2001) menyatakan bahwa kinerja seseorang tergantung pada factor-faktor berikut; kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan, tingkat usaha, dan dukungan yang diberikan pada orang tersebut. Pendapat senada dikemukakan Timpe (1993) sebagaimana dikutip Cimat (1993), bahwa kinerja kerja adalah kultimasi tiga elemen yang saling berkaitan; keterampilan, upaya, dan sifat keadaan-keadaan eksternal. Pendapat lain tentang kinerja dikemukakan Walker, bahwa kinerja adalah suatu fungsi dari upaya dan kemampuan yang menghasilkan produktivitas untuk organisasi dan pribadi, keuntungan, kenyamanan kerja, pengakuan dan kesempatan promosi pegawai Pendapat ini menjelaskan bahwa kinerja menghasilkan produktivitas yang ditujukan bagi organisasi dan memiliki sifat-sifat seperti tekad, gairah kerja, agresi, rasa ingin tahu yang besar, dan memiliki kepekaan dalam mendidik. Sifat-sifat ini berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh guru dari pendidikan dan pelatihan yang diikuti.
A Dale Timpe menyatakan anggapan bahwa kinerja karyawan dapat diperbaiki bila para karyawan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, kapan mereka diperbolehkan berperan serta dalam proses menetapkan harapan-harapan tersebut dan kapan mereka dinilai dari hasil-hasilnya Menghadapi masalah kinerja yang memburuk pihak karyawan pun harus mengetahui terlebih dahulu harapan-harapan apa yang diinginkannya dan manajemen memfasilitasi mereka dalam menetapkannya sekaligus melakukan penilaian dalam rangka melakukan penilaian kinerja dari komitmen yang telah disepakati bersama
Menurut Mangkunegara (2001:67) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tinggi rendahnya kinerja pekerja berkaitan erat dengan sistem pemberian penghargaan yang diterapkan oleh lembaga/organisasi tempat mereka bekerja. Pemberian penghargaan yang tidak tepat dapat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja seseorang.
3.1.1.1. Hakikat Motivasi Kerja
Motivasi berasal dari kata motivum bahasa latin), yang artinya suatu alasan yang menggerakkan. Diterjemahkan dalam bahasa nggris menjadi motivation Selanjutnya didefinisikan, motivasi sebagai kondisi yang menyebabkan suatu organisasi menghasilkan atau menghalangi suatu tindakan yang menghasilkan atau menghalangi suatu tindakan yang menghasilkan dan memelihara perilaku. Untuk menghasilkan dan memelihara perilaku, motivasi dari dalam diri dalam banyak kasus lebih baik dari motivasi yang datangnya dari luar untuk menghasilkan dan memelihara perilaku
Pendapat lain tentang motivasi dikemukakan Mathis dan Jackson (2001), bahwa motivasi merupakan hasrat dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan
Husein Umar (1999) mengutip pendapat Maslow (1975) mengenai teori motivasi proses, berusaha agar setiap pekerja mau bekerja giat sesuai dengan harapan. Daya penggerak yang memotivasi semangat kerja terkadang muncul dari harapan yang diperolehnya
Menurut Vroom (1864) sebagaimana dikutip Husein Umar (1999) teori harapan (Expectancy Theory) didasarkan pada tiga komponen yaitu: 1) harapan, 2) nilai (valence) dan pertautan (instrumentality). Harapan adalah suatu kesempatan yang disediakan dan akan terjadi karena perilaku. Nilai (valance) merupakan nilai yang diakibatkan oleh perilaku tertentu. Pertautan (instrumentality) adalah keterkaitan atau hubungan.
Menurut Chung & Megginson yang dikutip Gomes (2001) dikemukakan bahwa motivasi berkaitan erat dengan kepuasan pekerja dan kinerja pekerjaannya.
3.1.1.2. Hakikat Sikap terhadap Penghargaan
Menurut Diane Lapp et el. (1985) sikap adalah kesiapan mental atau organ tubuh yang terkendali secara emosional untuk bereaksi dengan cara yang konsisten suka atau tidak suka, positif atau negative, terhadap suatu objek atau situasi yang berhubungan dengan obyek Lebih lanjut Fieldman yang mengacu pada pendapat Fishben dan Azjen mengemukakan bahwa sikap dipandang ebagai predisposisi seseorang terhadap suatu objek, terutama objek social dan psikologi di lingkungan sekitar secara konsisten dengan perasaan suka atau tidak suka. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muller yang memandang sikap sebagai kesiapan untuk bertindak atau kecenderungan seseorang untuk melakukan reaksi pro atau kontra, suka atau tidak suka, positif atau negative terhadap objek psikologis.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan suatu kecenderungan tindakan seseorang untuk berbuat yang didasarkan pada keyakinan dan perasaannya terhadap suatu obyek, terutama obyek social dan obyek psikologis. Keyakinan dan perasaan tersebut merupakan dasar kesiapan tindakan untuk memberikan respon, apakah respon positif atau negative, suka atau tidak suka, positif atau negative, pro atau kontra, setuu atau tidak setuju terhadap obyek social maupun psikologi.
Batasan sikap menurut Rakhmat (1996) meliputi beberapa aspek yakni; 1) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpresepsi, berfikir dan merasa dala menghadapi obyek, ide, situasi dan nilai, 2) sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi, 3)sikap relative lebih menetap, 4) sikap mengandung aspek evaluative dan 5) sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Pendapat ini mengungkapakan bahwa sikap akan mempengaruhi sikap seseorang dalam menghadapi suatu obyek, ide, situasi atau nilai. Hal ini mengingat sikap telah dibawa sejak lahir
3.1.2. Self-Effcacy dan Outcome-Expectancy Guru
3.1.2.1. Self Efficacy dan Dimensinya
Ada berbagai penelitian yang pernah dilakukan untuk melihat harapan guru, baik harapanya terhadap kemampuannya (self-efficacy) ataupun harapannya terhadap hasil yang akan diperolehnya dengan mengajar (outcome-expectancy), seperti penelitian yang dilakukan oleh Asthon & Webb, Gibson & Dembo, Wolkfolk dan Midgley (woolfolk,1990)
Self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif dan tindakan-tindakan yang diperlukan atas situasi-situasi yang dihadapi. (Bandura dalam Nease, Mudgett dan Quinones, 1999)
Bandura (1994) mengatakan bahwa self-efficacy menentukan bagaimana seseorang merasakan sesuatu, berfikir, memotivasi diri mereka sendiri dan juga perilaku mereka. Lebih lanjut Bandura mengungkapkan bahwa individu dengan self- efficacy yang tinggi bersikap positif, berorientasi kesuksesan dan berorientasi tujuan. Selain itu mereka membutuhkan bantuan dalam penentuan tujuannya, mereka mencari bantuan nyata dan bukan dukungan emosional ataupun penentraman hati.
Semakin kuat persepsi self efficacy semakin giat dan tekun usaha-usahanya. Ketika mengahadapi kesulitan, individu yang mempunyai keraguan diri yang besar tentang kemampuannya akan mengurangi usaha-usaha atau menyerah sama sekali. Sedangkan mereka yang mempunyai perasaan efficacy yang kuat menggunakan usaha yang lebih besar untuk mengatasi tantangan (Bandura 1986). Penilaian kemampuan sangat penting bagi individu, individu yang menilai terlalu tinggi kemampuannya bila melakukan kegiatan yang tidak dapat diraih akibatnya ia mengalami kesulitan untuk menurunkan kredibilitasnya dan menderita kegagalan. Sebaliknya individu yang menilai terlalu rendah kemampuannya akan membatasi dirinya dari pengalaman yang menguntungkan, untuk itu individu harus memperoleh pengetahuan diri berkenan dengan kemampuan, kecakapan fisik, dan keterampilan untuk mengatasi situasi-situasi yang dijumpainya sehari-hari.
Self-efficacy yang tinggi akan mengembangkan kepribadian yang kuat pada seseorang, mengurangi stress dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi yang mengancam. Berbeda dengan individu dengan self-efficacy rendah yang akan cenderung tidak mau berusaha atau menyukai kerjasama dalam situasi yang sulit dan tingkat kompleksitas yang tinggi (Lee & Bobko, 1994).
Meyers (dalam Herwanto, 2004) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan seseorang terhadap kompetensi dirinya untuk berhasil. Sedangkan Baron & Byrne menggambarkan self-efficacy sebagai evaluasi diri seseorang terhadap kemampuan atau kompetensi untuk menampilkan tugas, mencapai tujuan dan mengatasi rintangan
Bandura (1997) mengatakan bahwa self-efficacy seseorang dapat dibedakan atas dasar beberapa dimensi yang memiliki manfaat penting terhadap prestasi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain :
1) Magnitude atau tingkat kesulitan tugas. Hal ini berdampak pada pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dikehendaki berdasarkan pengharapan efikasi pada tingkat kesulitan tugas (level of difficulty). Individu akan mencoba perilaku yang dirasakan mampu untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
2) Generality atau luas bidang perilaku. Hal ini berkaitan dengan seberapa luas bidang perilaku yang diyakini untuk berhasil dicapai oleh individu. Beberapa pengharapan terbatas pada bidang perilaku khusus, sedangkan beberapa pengharapan mungkin menyebar pada berbagai bidang perilaku.
3) Strenght atau kemantapan keyakinan. Hal ini berkaitan dengan keteguhan hati terhadap keyakinan individu bahwa ia akan berhasil dalam menghadapi suatu permasalahan. Dimensi ini seringkali harus menghadapi rasa frustasi, luka dan berbagai rintangan lainnya dalam mencapai suatu hasil tertentu.

Self-efficacy merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kinerja seseorang dalam mencapai suatu tujuan tertentu (Robbins, 2001). Semakin tinggi self-efficacy seseorang, maka semakin besar pula kepercayaan dari orang tersebut terhadap kesanggupannya untuk berhasil dalam mencapai tujuan. Self-efficacy yang tinggi itu juga akan membuat seseorang lebih gigih ketika menghadapi tantangan serta lebih termotivasi ketika mendapatkan umpan balik (feedback) negatif (Bandura, dalam Nease, Mudgett dan Quinones, 1999).

Penelitian-penelitian self efficacy guru didasarkan pada penelitian awal yang dilakukan oleh Rand Coorporation (Ashton, 1986). Dalam penelitiannya Rand mengemukakan satu konsep yang disebutnya sebagai Teachers Sense of Efficacy, yang merupakan keyakinan guru untuk menolong murid dalam proses belajar secara efektif. Dari serangkaian penelitian Rand Coorporation ditemukan adanya dua dimensi pada Teachers Sense of Efficacy. Asthon & Webb, Gibson & Dembo, Wolkfolk dan Midgley (woolfolk,1990) mengasumsikan dua dimensi Rand ini berhubungan dengan konsep Bandura mengenai Self Efficacy dan Outcome Expectancy. Kedua dimensi ini, yang pertama adalah dimensi yang setara dengan self-efficacy yaitu personal efficacy dan yang kedua adalah dimensi yang berhubungan dengan Outcome Expectancy yaitu teaching efficacy. Penjelasan mengenai pengertian dan dimensi dari outcome expectancy dan self efficacy guru akan mencakup kedua dimensi ini.
Menurut Ashton & Webb (1986), konsep Bandura mengenai self efficacy dapat dianalogikan dengan dimensi personal efficacy (Woolfolk, 1990). Ashton mendefinisikan self efficacy sebagai:
“Specific beliefs about one’s personal competence in motivating students”
(Asthon, 1986: 5)
Berdasarkan definisi diatas, maka self-efficacy guru dapat diartikan sebagai penilaian individu mengenai kemampuan dirinya dalam memberikan pengaruh positif dan memotivasi murid secara efektif. Pengertian ini didukung oleh definisi Midgley (1989) mengenai self-efficacy guru yaitu keyakinan guru terhadap efektifitas pribadinya atau keyakinan guru mengenai kemampuan pribadinya dalam menghadapi murid secara efektif. Selain memberikan pengertian menganai self-efficacy guru Meidgley (1989) juga menyatakan bahwa self-efficacy guru mengandung beberapa aspek yaitu kemampuan untuk mengontrol dan mendisiplinkan murid, mengajar sesuai dengan kemampuan murid dan keyakinan bahwa kemampuan intelektual dapat dimodifikasi .
Berdasarkan teori-teori diatas, maka pengertian self efficacy guru yang digunakan dalam penelitian ini adalah: keyakinan guru mengenai kemampuannya untuk secara effektif memberikan pengaruh positif kepada murid dalam proses belajar. Keyakinan guru ini terdiri dari berbagai dimensi yaitu kemampuannya dalam menyajikan materi pelajaran (alih pengetahuan), kemampuannya dalam mendorong murid untuk belajar dan kemampuannya mengontrol murid.
1) Dimensi Alih Pengetahuan
Kegiatan ini menyampaikan, menyajikan dan melakukan alih pengetahuan kepada murid harus dilakukan dalam kaitannya dengan proses pengembangan pengetahuan anak. Kegiatan penyajian informasi dapat didefinisikan sebagai mengajar hanya jika dapat memberikan pengauh positif pada muri. Slameto, 1988 menyatakan bahwa penyampaian materi pelajaran hanyalah merupakan satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan anak. Pendapat ini sesuai dengan pandangan William H Burton (Darwis,1979) yang merumuskan kegiatan mengajar sebagai upaya untuk memberikan rangsangan (stimulus), bimbingan, pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar (Ali, 1987). Bertitik tolak
2) Dimensi Dorongan Belajar
Selain kemampuan menyampaikan materi kemampuan kedua yang dituntut seorang guru adalah kemampuannya untuk mendorong murid dalam belajar. Saat ini kesempatan belajar makin ternuka melalui berbagai sumber dan media, sehingga selain belajar disekolah murid juga dapat belajar di berbagai kesempatan dan kegiatan di luar sekolah seperti dari surat kaba, radio, televisi , film dan sebagainya. Guru hanya merupakan salah satu diantara berbagai sumber dan media belajar. Dengan demikian peranan guru diharapkan dapat lebih luas dan lebih mengarahkan kepada peningkatan motivasi belajar anak didik. Melalui peranannya guru diharapkan dapat lebih luas dan dapat lebih mengarah kepada penigkatan motivasi belajar anak didik. Melalui peranannya sebagai pengajar, guru diharapkan mampu membantu setiap anak untuk secara efektif mempergunakan berbagai kesempatan belajar melalui berbagai sumber dan media belajar. Dengan demikian saat ini guru terutama sekali berfungsi sebagai pendorong dalam seluruh kegiatan belajar mengajar (Slameto, 1988). Slameto menyatakan bahwa dalam proses mempengaruhi anak didik kea rah yang lebih positif, maka kegiatan mengajar harus dititikberatkan pada pemberian arah dan dorongna kepada murid untuk mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Maka sasaran terakhir dari proses mengajar adalah murid. Dengan demiian jelaslah bahwa aktivitas yang menonjol dalam pegajaran terletak pada murid. Menurut Ali (1987) berperan bukan lagi sebagai penyampai informasi tetapi bertindak sebagai pengarah, pemberi dorongan belajardanpemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar.
3) Dimensi Kontrol Disiplin Kelas
Konsep dan pengertian disiplin dapat diartikan bermacam-macam. Dalam hubungannya dengan sekolah pengertian dsiplin sering ditafsirkan sebagai keadaan tenang atau keteraturan sikap atau tindakan murid-murid (Darwis, 1979). Petersen (Slameto,1988) menyebutkan bahwa mengajar mengandung dua aspek, yaitu ; aspek yang memusatkan kegiatannya pada belajar cara hidup bersama orang lain dan yang berfokus pada ilmu pengetahuan. Aspek pertama yang merupakan kegiatan mengembangkan disiplin. Dengan demikian yang disebut sebagai kemampuan mengontrol disiplin kelas adalah kemampuan guru untuk mengelola seluruh pproses kegiatan mengajar sedemikian rupa sehinga setiap murid dapat berperilaku positif dalam mengikuti seluruh proses kegiatan mengajar sedemikian rupa sehingga setiap murid dapat berperilaku positif dalam mengikuti seluruh kegiatan belajar.
Pengukuran self efficacy menggunakan skala yang berbentuk kuesioner. Menurut Bandura (1995) untuk mengukur self efficacy yang dimiliki seseorang diberikan kuesioner yang dapat memancing persepsi seseorang mengenai keyakinan akan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Pengukuran ini mengacu pada tiga dimensi yang dikemukakan Bandura (1977) antara lain magnitude,strength dan generality.
Penelitian ini menggunakan skala yang dimodifikasi dari general self efficacy scale yang dikembangkan oleh Schwarzer, Born dan Jerusalem (1995) berdasarkan definisi self efficacy Bandura dan general self efficacy scale yang digunakan oleh Sherex dan Madux (1982)
Item pertanyaan dalam general self efficacy scale ini menyatakan dimensi-dimensi self efficacy dari Bandura, misalnya item yang menyatakan cenderung pada dimensi strength; “saya yakin dapat mengatasi kejadian-kejadian yang tidak terprediksi “, sedangkan item yang menyatakan cenderung pada dimensi generality ; jika saya melakukan usaha-usaha yang diperlukan, mayoritas masalah yang timbul dapat saya tangani”. Untuk item yang cenderung pada dimensi magnitude, dinyatakan dalam item ; “ketika saya membuat rencana saya yakin rencana saya akan berjalan”.
3.1.2.2. Out come Expectancy Guru dan Dimensinya
Ashton mendefinisikan outcome expectancy sebagai :
“…beliefs refers to the extent to which the teacher believes that action can produce desired outcomes” (Ashton, 1986 : 4)
Outcome expectancy merupakan keyakinan bahwa suatu kegiatan atau tindakan akan memberikan hasil yang diinginkan. Sedangkan jika kita mengacu pada salah satu definisi outcome expectancy yang berasal dari Bruning, Shell dan Murphy, maka outcome expectancy dijelaskan sebagai keyakinan mengenai pentingnya suatu keterampilan yang spesifik untuk meraih tujuan hidup (shell, 1989) Keterampilan yang spesifik pada guru adalah keterampilannya dalam mengajar dan penguasaan terhadap bidang study yang menjadi spesialisasinya, maka selanjutnya Ashton & Webb (1986) menjelaskan outcome expectancy guru sebagai keyakinan guru mengenai hasil yang akan diperolehnya dalam mengajar .
Berdasarkan uraian ini maka pengertian outcome expectancy yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah keyakinan seseorang terhadap tugasnya sebagai guru akan memberikan hasil yang diinginkan.
Ada beberapa jenis hasil yang diharapkan guru diantaranya adalah :
1) Hasil yang berupa token economic. Hasil ini dapat berupa uang atau kenaikan pangkat (Bandura, 1986). Goodlad (1984) menyatakan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu insentif yang diharapkan seseorang dengan menjadi guru . Mereka ini memilih pekerjaan sebagai guru dengan alas an pekerjaan ini mudah diperoleh (Kohl , 1984) dan karena tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakukan (Darwis, 1979). Dari penelitian ini Kohl (1984) dapat disimpulkan guru yang memilih alas an ekonomi ini tidaklah banyak (kurang dari 11 %). Akan tetapi, meskipun harapan untuk mendapatkan uang secara memadai bukanlah alasan utama untuk memilih profesi sebagai guru, ternyata alasan ekonomi ini menempati urutan kedua sebagai factor yang menyebabkan seseorang meninggalkan profesi guru (Goodlad, 1984; Darwis,1979) Goodlad mengasumsikan bahwa selain keinginan untuk mendapatkan imbalan intrinsic dari kerjanya, calon guru telah memiliki bayangan tentang gaji yang memadai. Sehingga ketika bayangan itu tidak terpenuhi mereka mengesampingkan imbalan intrinsic yang diperolehnya sebagai guru dan memilih pekerjaan lain. Untuk beberapa orang yang lain pekerjaan sebagai guru dianggap sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kenaikan pangkat, memaski jenjang lain, seperti di again administrasi, penelitian maupun supervise (Kohl, 1976)
2) Hasil yang berupa status dan penghargaan. Dari penelitian Kohl (1984) diketahui bahwa salah satu harapan yang ingin diraih seseorang dengan menjadi guru adalah untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang baik dan dihargai (18%). Mereka menganggap bahwa dengan gaji yang sama pekerjaan sebagai guru merupakan pekerjaan yang lebih dihargai dan terhormat di mata masyarakat dari pada melakukan pekerjaan lain (Kohl, 1976,; Anita, 1990).
3) Hasil yang berupa kekuasaan (power Incentive). Bekerja sebagai guru dapat merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pengaruh (Kohl, 1976). Dengan menjadi guru seseorang bisa meyakinkan orang lain untuk mempercayai nilai-nilai yang mereka anut, minimal mereka dapat meyakinkan murid-murid mereka sendiri. Beberapa guru memiliki harapan bahwa mereka mampu memperbaiki sistem pendidikan yang mereka terima dahulu. Mereka ingin mempengaruhi murid agar lebih terbuka, lebih kreatif dan lebih terdorong untuk menikmati situasi belajar (Kohl, 1976; Anita, 1990). Menjadi guru merupakan satu kesempatan untuk merubah mutu pendidikan saat ini (Darwis, 1979; Kohl, 1984). Ashton mendefinisian Sense of Teaching Efficacy sebagai keyaknan bahwa secara umum mengajar dapat mempengaruhi proses belajar murid. Ashton & Webb (1986) mengasumsikan dimensi ini merupakan bagian dari konsep outcome-expectancy dari Bandura. Tapi pendapat ini disangkan oleh Anita Woolfolk (1990) yang menyatakan bahwa dimensi teaching-efficacy tidak mencerminkan konsep outcome-expectancy seperti yang dimaksud oleh Bandura, karena secara potensial mengandung pengertian prestasi seseorang.
4) Hasil yang berupa hubungan dan penerimaan social
Berdasarkan penelitian diperoleh data bahwa salah satu hasil yang ingin diperoleh seseorang dengan menjadi guru adalah lingkungan pergaulan di sekolah yang menyenangkan. Mereka senang bergaul dengan anak-anak dan menjadi guru memberikan kesempatan untuk bekerja dengan anak-anak (Darwis, 1979, Kohl,1976, Goodlad,1984). Ada sejumlah guru yang mengemukakan alasan ini. Kohl (1976) bahkan mengasumsikan beberapa dari guru ini memang menghindari untuk bekerja dengan orang dewasa. Sebagian yang lainnya menganggap bahwa dengan menjadi guru mereka akan memiliki teman kerja yang baik (Darwis, 1979)
5) Hasil yang diperoleh dari terpenuhinya standart internal dan reaksi evaluas diri. Dalam mengajar, hasil yang berupa terpenuhinya standart internal seseorang ini merupakan hasil yang besar pengaruhnya. Dari penelitian diketahui bahwa sebagaian besar subyek memilih menjadi guru untuk memenuhi keinginan mengajar dan hanya sebagian kecil untuk memenuhi keinginan mereka melayani dan membantu orang lan (Goodlad, 1984). Dengan mengajar imbalan utama yang mereka inginkan bukan berasal dari lingkungan eksternal tap berasal dari kepuasan yang mereka rasakan secara internal. Eberapa orang guru merasa dengan mengajar merekadapat mengabdi pada masyarakat dan negara, mereka dapat memperluas cakrawala pemikiran dan pengetahuan, mereka dapat menjelajahi berbagai dimensi dalam kehidupan tanpa harus mendalami satu disiplin tertentu seperti pada pekerjaan yang lain (Darwis, 1979, Kohl, 1984, Goodlad, 1984). Dengan perkataan lain mereka berharap dengan mangajar akan memperoleh perasaan puas dan bahagia, meskipun saat ini pekerjaan sebagai guru hanya memberikan sedikit imbalan ekonomi, tidak terlalu dihargai oleh masyarakat, hanya memiliki pengaruh kecil dalam merubah system pendidikan dan memiliki lingkungan pergaulan yang tidak sesuai dengna harapan mereka.
3.1.2.3. Model dari Keyakinan (Expectation) Guru
Keyakinan guru dalam mengajar digambarkan oleh Ashton (1986) dalam satu skema hubungan berjenjang dari empat faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Skema berjenjang tersebut seperti yang digambarkan di bawah ini,



Keyakinan Umum mengenai Keterkaitan Reaksi – Imbalan (Generalized Belief about Response – Outcome Contingencies)Skema berjenjang dari keyakinan Guru (Ashton, 1986)
Keyakinan Spesifik tentang Kemampuan Guru pada umumnya untuk Memotivasi Murid (Sense of Teaching Efficacy)
Keyakinan Spesifik mengenai Kompetensi Diri Seseorang dalam Memotivasi Murid (Sense of Personal Teaching Efficacy)
Keyakinan Umum tentang Self Efficacy (Generalized Belief about Perceived Self Efficacy)








Yang terletak pada jenjang tertinggi adalah factor keyakinan guru tentang hubungan antara usaha dan hasil secara umum (Generalized Beliefs about Response-Outcome Contigencies). Keyakinan inimenunjukkan pada seberapa besar keyakinan guru bahwa suatu kegiatan dapat menghasilkan imbalan yang diinginkan. Keyakinan ini mempengaruhi dua hal yaitu tingkat kepercayaan guru
Menurut Srauss dan Sayles, “kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencaai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi
3.1.3. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional karyawan yang terjadi maupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dan perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan (Martoyo, 2000:142).
Dalam hal kepuasan kerja, Gilmer (1966) menyebutkan faktor-­faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah kesempatan untuk maju, keamanan kerja, gaji, perusahaan dan manajemen, faktor intrinsik dan pekerjaan, kondisi kerja, aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi, dan fasilitas (Lih.: As'ad, 2003: 114).
Sementara itu, menurut Heidjrachman dan Husnan mengemukakan beberapa faktor mengenai kebutuhan dan keinginan pegawai, yakni: gaji yang baik, pekerjaan yang aman, rekan sekerja yang kompak, penghargaan terhadap pekerjaan, pekerjaan yang berarti, kesempatan untuk maju, pimpinan yang adil dan bijaksana, pengarahan dan perintah yang wajar, dan organisasi atau tempat kerja yang dihargai oleh masyarakat (Heidjrachman dan Husnan, 2002: 194).
Menurut Loeke (dalam Sule, 2002: 211), kepuasan atau ketidakpuasan karyawan tergantung pada perbedaan antara apa yang diharapkan. Sebaliknya, apabila yang didapat karyawan lebih rendah daripada yang diharapkan akan menyebabkan karyawan tidak puas. Faktor­faktor yang mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan kerja yaitu: jenis pekerjaan, rekan kerja, tunjangan, perlakuan yang adil, keamanan kerja, peluang menyumbang gagasan, gaji/upah, pengakuan kinerja, dan kesempatan bertumbuh.
Merujuk pada berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan mengenai faktor-­faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan dalam rangka peningkatan kinerjanya adalah: (a) faktor psikologik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketenteraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan; (b) faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya; (c) faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi. jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya; (d) faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam­macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan sebagainya.
Persoalannya adalah bagaimanakah pengaruh faktor kepuasan, yaitu: gaji, kepemimpinan, dan sikap rekan sekerja dan self efficacy terhadap kinerja guru yang terjadi di Sekolah Avicenna yang dinaungi Yayasan Pendidikan Medco. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor­-faktor kepuasan kerja dan self efficacy serta pengaruhnya terhadap kinerja guru.
Salah satu sasaran penting dalam manajemen sumberdaya manusia pada suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang bersangkutan. Kepuasan kerja tersebut diharapkan pencapaian tujuan organisasi akan lebih baik dan akurat. Hasil penelitian Herzberg menyatakan bahwa faktor yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan kemajuan (Armstrong, 1994: 71). Pendapat lainnya menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2001: 193).
Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dapat dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan adalah kepusasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting.
Kepuasan kerja di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang dinikmati di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya agar dia dapat membeli kebutuhan-­kebutuhannya. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasannya di luar pekerjaan lebih mempersoalkan balas jasa daripada pelaksanaan tugas­tugasnya. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Karyawan yang menikmati kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak.
Teori kepuasan kerja menurut Wesley dan Yulk dapat diterangkan menurut tiga macam teori, yaitu: Pertama, discrepancy theory mengemukakan bahwa untuk mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wanous dan Lawler (dalam As'ad, 2003: 105) mengemukakan bahwa sikap karyawan terhadap pekerjaannya tergantung pada bagaimana ketidaksesuaian (discrepancy) yang dirasakan.
Kedua, equity theory yang dikembangkan oleh Adam (1963). Pada prinsipnya teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas sepanjang mereka merasa ada keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupun di tempat lain. Teori ini mengidentifikasi elemen­elemen equity meliputi tiga hal, yaitu: (a) input, adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh pegawai sebagai masukan terhadap pekerjaannya; (b) out comes, adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai dari hasil pekerjaannya; (c) comparisons persona, adalah perbandingan antara input dan out comes yang diperolehnya.
Ketiga, Two factor theory yang dikemukakan oleh Herzberg (1966). Prinsip­prinsip teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan variabel yang kontinyu (dalam As'ad, 2003: 108). Berdasarkan hasil penelitiannya Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: (a) statisfers atau motivator, faktor­-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan yang terdiri dari: achievement, recognition, work it self, responsibility dan advancement; dan (b) dissatifiers atau hygiene factors, yaitu faktor-­faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, seperti: company policy and administration, supervision tehnical, salary, interpersonal relations, working condition, job security dan status.
Secara historis, karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja akan melaksanakan pekerjaan dengan baik. Masalahnya adalah terdapatnya karyawan yang kepuasan kerjanya tinggi tidak menjadi karyawan yang produktivitasnya tinggi. Banyak pendapat mengemukakan bahwa kepuasan kerja yang lebih tinggi, terutama yang dihasilkan oleh prestasi kerja, bukan sebaliknya. Prestasi kerja lebih baik mengakibatkan penghargaan lebih tinggi. Bila penghargaan tersebut dirasakan adil dan memadai, maka kepuasan kerja karyawan akan meningkat karena mereka menerima penghargaan dalam proporsi yang sesuai dengan prestasi kerja mereka.
Kondisi kepuasan atau ketidakpuasan kerja tersebut menjadi umpan balik yang akan mempengaruhi prestasi kerja di waktu yang akan datang. Jadi, hubungan prestasi dan kepuasan kerja menjadi suatu sistem yang berlanjut. Menurut Strauss dan Sayles (1980) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi dini. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan tidak melakukan kesibukan yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan yang harus dilakukan.
Dessler (1982) mengemukakan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan peraturan yang lebih baik, tetapi kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan dan kadang­kadang berprestasi lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja (Lih. Handoko, 2001: 196). Oleh karena itu, kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama untuk menciptakan keadaan positif di lingkungan kerja perusahaan.
Sebuah kesimpulan menarik yang menyatakan bahwa pekerja yang produktif berpeluang lebih besar untuk berbahagia, Yakni, produktivitas lebih memicu kepuasan dari pada sebaliknya. Jika anda dapa menjalankan tugas dengan baik, anda secara intrinsik merasa bahagia terhadapnya. Disamping itu dengan menganggap bahwa organisasi menghadiahi produktivitas, peningkatan produktivitas anda akan meningkatkan pengakuan verbal, level, upah anda dan kemungkinan untuk promosi. Hadiah-hadiah tersebut, pada gilirannya meningkatkan level kepuasan anda terhadap pekerjaan tersebut. Kesimpulan terbalik ini memberikan pengertian bahwa kepuasan kerja didapat jika produktivitas dari karyawan meningkat.
3.1.3.2. Kepuasan Kerja Guru
Berdasarkan teori-teori kepuasan kerja yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja diantaranya; faktor kesejahteraan, perilaku atasan, lingkungan kerja, kesesuaian pekerjaan dan kebijakan organisasi termasuk kesempatan untuk berkembang

3.2. Rerangka Pemikiran
Lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah memiliki kompenen penting dalam penyelenggaraan pendidikannya, yakni guru. Guru sebagai komponen penting penyelenggara pendidikan sangat mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan. Untuk itu sebagai upaya memaksimalkan proses pendidikan berarti pula memaksimalkan kinerja penyelenggaranya. Kinerja pelayanan akademik yang dilakukan guru tentunya dipengaruhi beberapa faktor penting diantaranya yang akan menjadi variable yang akan peneliti lakukan yakni self efficacy guru dan kepuasan kerja guru.
Kepuasan kerja guru dapat diketahui dari faktor-faktor penyebabnya. Diantara beberapa dimensi penyebab dari kepuasan kerja diantaranya adalah: a). faktor finansial adapun beberapa indikatornya adalah; sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dsb. b). faktor fisik adapun indikatornya adalah; kondisi fisik lingkungan kerja, jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan istirahat, keadaan ruangan, suhu ruangan, kondisi kesehatan karyawan. c). Faktor sosial adapun indikatornya adalah; interaksi sosial baik sesama karyawan dengan atasannya maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. d). faktor psikologik adapun indikatornya adalah; minat guru, ketentraman dalam kerja, sikap terhada kerja, bakat dan keterampilan.
Sedangkan, variabel self efficacy dapat diketahui dari faktor-faktor penyebabnya. Adapu diantara beberapa dimensi penueabdari epuasan kerja diantaranya adalah: a). Kemampuannya dalam menyajikan materi pelajarannya sedangkan indikator dari dimensi diantaranya; kemampuan dan menyajikan pelajaran, kemampuan memberikan rangsangan dan bimbingan belajar, pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar. b). Kemampuan dalam mendorong murid untuk belajar adapun indikator dari dimensi tersebut diantaranya; keampan membantu setiao anak secara efektif mempergunakan kesempatan belajar melalui berbagai sumber dan media belajar. kemampuan mengarahkan, pemberi dorongan belajar, memberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar. c). Kemampuannya mengontrol murid adapun indikator dari dimensi tersebut adalah kemampuan guru untuk mengelola seluruh proses kegiatan mengajar.
Dalam tugas karya ahir ini peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui adakah hubungan antara variabel-variabel bebas diataranya self efficacy guru dan kepuasan kerja terhadap variable pengikatnya yakni kinerja pelayanan akademik. Serta hubungan kedua variabel bebas secara bersama-sama terhadap variable pengikat. Alur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Self Efficacy
(X1)
Kinerja Pelayanan Guru (Y)
Kepuasan Kerja
(X2)






Keterangan:
X1 = Self efficacy
X2 = Kepuasan Kerja
Y = Kinerja Pelayanan Akademik
3.3. Hipotesis
Kinerja memiliki beberapa factor yang mempengaruhinya dimana kesemuanya memiliki kaitan langsung maupun tidak lengsung dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, kali ini peneliti bermaksud melihat pengaruh dari 2 variable yang akan diteliti apakah keduanya mempengaruhi kinerja pelayanan guru dalam proses belajar mengajar secara signifikan ataukah tidak. Adapun kedua variable yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1) Kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru dalam memberikan pelayanan selama proses belajar mengajar ataukah tidak
2) Self Efficacy yang dimiliki guru berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru dalam memberikan pelayanan selama proses belajar mengajar ataukah tidak
3) Self Efficacy dan Kepuasan Kerja yang dimiliki guru berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru dalam memberikan pelayanan selama proses belajar mengajar ataukah tidak
Dari rerangka penelitan diatas maka peneliti memiliki hipotesis dari penelitan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Self efficacy umumnya juga menunjukkan hubungan yang positif dengan kinerja (Chen et al., 2000; Locke dan Latham, 1990; Philips dan Gully, 1997; Stajkovic dan Luthans, 1998). Contoh Stajkovic dan Luthans (1998) melaporkan adanya hubungan self-efficacy dan performance dengan rata-rata korelasi 0,38 sementara Locke dan Latham (1990) hubungan kedua variabel ini memiliki korelasi rata-rata 0,42. Berdasarkan hal tersebut model penelitian ini menduga bahwa self-efficacy berhubungan positif dengan performance
Maka Hipotesis 1 penelitian ini adalah:
H1: Self-Efficacy guru memiliki pengaruh positif dengan kinerja pelayanan akademik
2). Hubungan kepuasan kerja dengan kinerja sebelumnya dapat ditelaah dari penelitian yang dilakukan oleh Dwi Maryani dan Bambang Supomo (2001) yang menjadikan dosen sebagai sampel penelitiannya, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan kinerja individual. Berdasarkan hal tersebut model penelitian ini menduga bahwa kepuasan kerja berhubungan positif dengan kinerja
Maka Hipotesis 2 penelitian ini adalah:
H2 : Kepuasan kerja memiliki pengaruh positif terhadap kinerja pelayanan akademik
3). Hipotesis terakhir pada peelitian ini adalah dengan memperhatikan hipotesis 1 dan 2 maka peneliti mencoba meneliti apakah terdapat hubungan yang signifikan ke dua faktor diatas secara bersama-sama terhadap kinerja sehingga hipotesis 3 penelitian ini adalah
H3 : Self efficacy dan kepuasan kerja secara bersama-sama berpengaruh positif terhadap kinerja pelayanan akademik




BAB IV
METODOLOGI RISET
Metode riset adalah “cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data objektif, valid, dan reliable dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan, dan dikembangkan, suatu pengetahuan, sehingga dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi nasakah dalam administrasi” (sugiono, 2005)
Pengertian metode riset diatas menjadi acuan pengertian metode riset dalam penelitian ini, yaitu asas-asas dan teknik-teknik tertentu yang digunakan dalam rangka pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Asas-asas dan teknik tertentu itu merupakan cara ilmiah yang dihrapkan dengan cara ilmiah itu data yang akan didapatkan asalah data yang objektif, valid dan reliable
Objektif berarti semua orang akan memberikan pengertian yang sama, Validitas adalah derajat ketepatan antara data yang terdapat di lapangan dan data yang dilaporkan oleh peneliti. Kalau dalam objek penelitian terdapat warna merah, peneliti akan melaporkan warna merah. Kalau dalam objek penelitian para pegawai bekerja dengan keras, peneliti melaporkan bahwa pegawai bekerja dengan keras. Bila peneliti membuat laporan yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada objek, data tersebut dapat dinyatakan tidak valid Reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan. Dalam pandangan positivistik (kuantitatif), suatu data dinyatakan reliabel apabila dua atau lebih peneliti dalam objek yang sama menghasilkan data yang sama atau peneliti yang sama dalam waktu yang berbeda menghasilkan data yang sama atau sekelompok data bila dibagi menjadi dua kelompok menunjukkan data yang tidak berbeda. Kalau peneliti satu menemukan dalam suatu objek berwarna merah, peneliti yang lain juga demikian.
Dari pengertian tersebut diatas dan engacu juga pada tujuan penelitian ini, maa enelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan temuan ojektif mengenai fenomena (fakta) yang diteliti dan mencari ada atau tidak ada pengaruh antara variabel yang diteliti.
Berdasarkan penjelasan diatas maka pendekatan penelitian ini menggunakan metode survai. Kerlinger (1973) yang dikutip Sugiono (2001) mengemukakan bahwa, penelitian survai adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-hubungan antar variabel sosiologis maupun psikologis.
Dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh variabel self efficacy guru dan kepuasan kerja terhadap kinerja pelayanan akademik di sekolah Avicenna Cinere Depok baik unit SMP dan SMA
4.1. Objek Riset
Penelitian ini dilakukan pada guru-guru di sekolah Avicenna Cinere pada unit SMP dan SMA yang berlokasi di jalan Flamboyan Blok F Cinere Limo Depok Jawa Barat. Penelitan ini juga diharapkan mampu mengidentifikasi pengaruh self efficacy guru dan kepuasan kerja terhadap kinerja pelayanan akademik. Penelitian ini juga diharapkan mampu mengidentifikasi pengaruh self efficacy guru terhadap kinerja pelayanan akademik danmengidentifikasi pula pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja pelayanan akademik serta faktor manakah diantara keduanya yang memiliki pengaruh besar terhadap kinerja pelayanan akademik
Adapun Karyawan guru yang menjadi objek riset dalam penelitian ini dapat dilihat pada table 4.1 dibawah ini:
Unit
Jumlah
Keterangan
SMP
17 Orang

SMA
30 Orang

Tabel 4.1 Objek Riset
4.2. Metode Riset
Metode riset yang ilmiah merupakan salah satu alat pendeatan ilmiah yang digunakan untuk mencari kebenaran atau untuk menemukan suatu pengetahuan yang baru, menuji teori atau untk menjawa suatu pertanyaan atau mencari pemecahan sesuatu masalah yang dihadapi . Adapun jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam hal ini adalah penelitian kuantitatif.
4.2.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan konsep self efficacy guru, kepuasan kerja dan kinerja pelayanan akademik, maka variabel-veriabel itu dapat didefinisikan secara operasional sebagai berikut
1) Self Efficacy Guru
Self-efficacy guru dapat dartikan sebagai penilaian individu mengenai kemampuan dirinya dalam memberikan pengaruh positif dan memotivasi murid secara efektif. Pengertian ini didukung oleh definisi Midgley (1989) mngenai self-efficacy guru yaitu keyakinan guru terhadap efektifitas pribadinya atau keyakinan guru mengenai kemampuan pribadinya dalam menghadapi murid secara efektif.
Tabel 4.2 dibawah ini adalah table indikator pengukuran terhadap variabel self efficacy guru :
Variabel
Dimensi
Indikator
Faktor Self Efficacy
Kemampuannya dalam menyajikan materi pelajaran (alih pengetahuan),
Kemampuan menyampaikan dan menyajikan pelajaran


Kemampuan memberikan rangsangan (stimulus) dan bimbingan belajar


Pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar

Kemampuannya dalam mendorong murid untuk belajar dan
Kemampuan membantu setiap anak untuk secara efektif mempergunakan berbagai kesempatan belajar melalui berbagai sumber dan media belajar


Kemampuan mengarahkan, pemberi dorongan belajar dan


Memberi fasilitas untuk terjadinyaproses belajar.

Kemampuannya mengontrol murid
Kemampuan guru untuk mengelola seluruh proses kegiatan mengajar.

Tabel 4.2
2). Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dapat dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Guru yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting.
Table 4.3 dibawah ini adalah tabel indikator pengukuran terhada Keuasan kerja guru
Variabel
Dimensi
Indikator
Faktor Kepuasan Kerja
Faktor finansial,
faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial,


macam­-macam tunjangan,
fasilitas yang diberikan


Pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar

Faktor fisik,

kondisi fisik lingkungan kerja
kondisi fisik karyawan,
meliputi. jenis pekerjaan,
pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat,


keadaan ruangan,
suhu penerangan,
kondisi kesehatan karyawan

Faktor sosial,

interaksi sosial baik sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya

Faktor psikologik,
minat guru,
ketenteraman dalam kerja,
sikap terhadap kerja,
bakat, dan keterampilan
Table 4.3
3). Kinerja Pelayanan Akademik
Pada penelitian ini data diambil melalui jumlah guru yang ada pada sekolah avicenna cinere baik unit SMP maupun SMA
Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2001). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan guru sekolah Avicenna Cinere terdiri dari 17 orang guru unit SMP dan 30 orang guru pada unit SMA.
Sedangkan metode sampling yang digunakan yaitu metode sampling sensus atau sampel jenuh yaitu teknik pengambilan sampel bila semua anggota digunakan sebagai sampel. Maka sampel yang digunakan merupakan total populasi karyawan guru berjumlah 47 orang guru. Dengan demikian sampel 100 persen dari jumlah populasi sehingga dapat digeneralisasikan
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara :
a. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dalam penelitian tesis ini digunakan untuk mencari data primer dengan cara pemberian kuisioner kepada karyawan dengan jenis jawaban terstruktur atau ditentukan terlebih dahulu, dan observasi untuk memaparkan bagaimana self efficacy dan kepuasan kerja dapat mendukung kenaikan kinerja pelayanan akademik
b. Studi Kepustakaan (Library Research)
Teknik ini dilakukan untuk mendukung gagasan teoritik atau konseptual yang terdapat pada variabel-variabel penelitian. Studi kepustakaan ini meliputi penggunaan data sekunder yang didapat melalui dokumen-dokumen sekolah mengenai prestasi akademis dan non akademis, buku-buku, jurnal ilmiah maupun teks atau literatur lain yang dapat mendukung asumsi sebagai bahan kajian pada penelitian.
Metode pengumpulan data dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Sumber Primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.
2. Sumber Sekunder, yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen
Selanjutnya teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara:
1. Kuesioner (angket), dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kemudian data jawaban kuesioner dari para responden diberi skor menggunakan sistem skala likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrument yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan (Sugiono, 2001). Dalam hal ini ada 5 klasifikasi jawaban yang diberikan dengan kemungkinan pemberian skor/nilai sebagai berikut:
- jawaban (A) diberi nilai 5 : Sangat Puas/Setuju/Positif/Baik
- jawaban (B) diberi nilai 4 : Puas/Setuju/Positif/Baik
- jawaban (C) diben nilai 3 : Cukup Puas/Setuju/Positif/Baik
- jawaban (D) diberi nilai 2 : Kurang Puas/Setuju/Positif/Baik
- jawaban (E) diberi nilai 1 : Tidak Puas/Setuju/Positif/Baik
2. Observasi, dilakukan dengan cara ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Diharapkan dengan observasi partisipan ini data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak. Pada observasi ini, peneliti mengamati bagaimana kepuasan kerja dan self efficacy yang dimiliki guru dan pelayanan akademik yang diberikan, dan lain sebagainya.
4.3. Metode Analisa
4.3.1Uji Validitas
Menurut Umar (2008), uji validitas berguna untuk mengetahui apakah ada pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner yang harus dibuang/diganti karena dianggap tidak relevan. Pengujiannya dilakukan secara statistik, yang dapat dilakukan secara manual atau dukungan komputer, misalnya melalui bantuan paket komputer SPSS.
Menurut Sugiono (2005:267) instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur.
(
)
(
)
(
)
{
}
(
)
{
}
2
2
2
2
y
y
n
x
x
n
y
x
xy
n
S
-
S
S
-
S
S
S
-
SRumus statistik yang digunakan adalah statistik koefisien korelasi produk moment. Fungsi rumus ini adalah untuk mengetahui validitas (kesahihan) pada setiap faktor kuesioner penelitian. Rumus koefisien korelasi produk moment adalah sebagai berikut :
r =
dimana :
r = koefisien korelasi antara variabel x dan y
n = jumlah sampel
x, y = skor masing-masing variabel
Apabila r hitung > r tabel maka pengujian indikator valid, sedangkan bial r hitung < r tabel maka pengujian indikator tidak valid.
4.4. Uji Reliabilitas
Realibitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa sesuatu intrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument etrsebut tidak baik. Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Instrumen yang sudah dapat dipercaya, yang reliabel akan menghasilkan data yang dipercaya juga. Apabila datanya memang benar sesuai dengan kenyataannya, maka berapa kalipun diambil tetap akan sama. Reliabel artinya dapat dipercaya jadi dapat diandalkan.
Reliabilitas (keandalan) merupakan ukuran suatu kestabilan dan konsistensi responden dalam menjawab hal yang berkaitan dengan konstruk-konstruk pertanyaan yang merupakan dimensi suatu variabel dan disusun dalam suatu bentuk kuesioner.
Uji Reliabilitas dapat dilakukan secara bersama-sama terhadap seluruh butir pertanyaan untuk lebih dari satu variabel, namun sebaiknya uji reliabilitas sebaiknya dilakukan pada masing-masing variabel pada lembar kerja yang berbeda sehingga dapat diketahui konstruk variabel mana yang tidak realibilitas. Realibitas suatu konstruk variabel dikatakan baik jika memiliki cronbach’s alpha > dari 0,60 (Bhuono Agung Nugroho, 2005:72).
Menurut Umar (2008), uji reliabilitas berguna untuk menetapkan apakah instrumen yang dalam hal ini kuesioner dapat digunakan lebih dari satu kali, paling tidak oleh responden yang sama. Misalnya seseorang telah mengisi kuesioner dimintakan mengisi lagi karena kuesioner pertama hilang. Isian kuesioner pertama dan kedua haruslah sama atau dianggap sama.
Uji reliabilitas yang dilakukan menggunakan uji Cronbach’s Alpha, yang dirumuskan sebagai berikut (Umar, 2008) :

rxy = k 1 - ∑σb2
k – 1 σt2
dimana :
rxy = reliabilitas instrumen
k = banyak butir pertanyaan
σt2 = varians total
∑σb2 = jumlah varians butir
Bila rxy ≥ r tabel, maka instrumen reliabel (Umar, 2008)
Bila rxy ≤ r tabel, maka instrumen tidak reliabel.

Rumus varians yang digunakan (Umar, 2008) :

dimana :
n = jumlah responden
x = nilai skor yang dipilih (total nilai dari nomor-nomor butir pertanyaan)

4.7. Operasionalisasi Variabel
Variabel
Sub Variabel
Indikator
Faktor Self Efficacy
(X1)
1) Kemampuannya dalam menyajikan materi pelajaran (alih pengetahuan),

2) Kemampuannya dalam mendorong murid untuk belajar dan



3) Kemampuannya mengontrol murid

- Kemampuan menyampaikan dan menyajikan pelajaran
- Kemampuan memberikan rangsangan (stimulus) dan bimbingan belajar
- Pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar

- Kemampuan membantu setiap anak untuk secara efektif mempergunakan berbagai kesempatan belajar melalui berbagai sumber dan media belajar
- Kemampuan mengarahkan, pemberi dorongan belajar dan
- Memberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar.

- Kemampuan guru untuk mengelola seluruh proses kegiatan mengajar.

Faktor Kepuasan Kerja
(X2)
1) Faktor finansial,








2) Faktor fisik,
















3) Faktor sosial,


4) Faktor psikologik,
- faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji,
- jaminan sosial,
- macam­-macam tunjangan,
- fasilitas yang diberikan,
- promosi, dan sebagainya

- kondisi fisik lingkungan kerja

- kondisi fisik karyawan,

- meliputi. jenis pekerjaan,

- pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat,

- keadaan ruangan,

- suhu penerangan,

- kondisi kesehatan karyawan


- interaksi sosial baik sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya

- minat guru,

- ketenteraman dalam kerja,

- sikap terhadap kerja,

- bakat, dan keterampilan
Kinerja Guru
(Y)
Pelayanan Akademik

1) Merumuskan tujuan pembelajaran
2) Mengembangkan dan mengorganisasikan materi,
3) media pembelajaran, dan sumber belajar
4) Merencanakan skenario kegiatan pembelajaran
5) Merancang pengelolaan kelas
6) Merencanakan prosedur, jenis, dan menyiapkan alat penilaian


4.8. Rancangan Uji Hipotesis
1) Hipotesis 1 dan 2: Ada pengaruh positif antara self efficacy dan kepuasan kerja terhadap pelayanan akademik.
Rumusan hipotesis diatas yang diuji sebagai berikut :
Ho : β = 0, berarti secara bersama-sama tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
H1 : β > 0, berarti secara bersama-sama ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
Hipotesis ini diuji dengan menggunakan rumus Regresi linier, sebagai berikut (Sugiono, 2001) :
Y = a + b1X1
Y = a + b2X2
Dimana :
Y = Kinerja pelayanan akademik
a = nilai konstanta
X1 = Self Efficacy
X2 = Kepuasan Kerja
b1, b2 = koefisien variabel-variabel
a =
b =
Hipotesis 3 : Self efficacy dan kepuasan kerja bersama-sama berpengaruh positif pada kinerja pelayanan akademik
Rumusan hipotesis diatas yang diuji sebagai berikut :
H1 : β1, β2 > 0
Hipotesis ini diuji dengan menggunakan rumus regresi linier berganda, sebagai berikut (Sugiono, 2004) :
Y = a + b1X1 + b2X2
Dimana :
Y = kinerja pelayanan akademik
a = nilai konstanta
X1 = self efficacy
X2 = kepuasan kerja
b1, b2 = koefisien variabel-variabel
Uji F dilakukan untuk mengetahui variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat, atau untuk menguji keberartian koefisiensi secara simultan (keseluruhan) (Sugiono, 2004).
Untuk menguji signifikan koefisien korelasi berganda menggunakan rumus Uji F (Sugiono, 2004) :

Fh =

Dimana :
R = koefisien determinasi berganda
k = jumlah variabel independen
n = jumlah anggota sampel
Apabila F hit > F tabel, maka koefisien korelasi berganda yang diuji adalah signifikan, bila F hit< F tabel, maka tidak signifikan. (F tabel = 0,05)
Bila F hit > F tabel maka Ho ditolak dan H1 diterima, artinya semua variabel bebas secara bersama-sama merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.
Bila F hit < F tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak, artinya semua variabel bebas secara bersama-sama bukan merupakan variabel penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.
4.9. Koefisien Determinasi
Koefisien Determinasi biasanya dinyatakan dengan R2, adalah angka yang menunjukkan proporsi variasi variabel dependen yang dijelaskan oleh variasi variabel independen.
Ketepatan model (R2) dilakukan untuk mendeteksi ketepatan yang paling baik dari garis regresi. Uji ini dilakukan dengan melihat besarnya nilai koefisien determinasi. R2 merupakan besaran non negatif dan besarnya koefisien determinasi adalah antara angka nol sampai dengan angka satu ( 0 ≤ R2 ≤ 1 ).
Koefisien determinasi bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sebaliknya nilai koefisien determinasi 1 berarti suatu kecocokan sempurna dari ketepatan model.
Koefisien determinasi yang digunakan didalam penelitian ini adalah koefisien determinasi berganda, yaitu analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat secara bersama-sama (Sugiyono, 2004). Rumus dari koefisien determinasi berganda adalah sebagai berikut :
Dimana :
Korelasi antar variable x1 dengan x2 secara bersama-sama dengan variabel y
Korelasi product moment antara x1 dengan y
Korelasi product moment antara x2 dengan y
but terhadap variabel dependennya.
BAB V
HASIL DAN ANALISIS
Kesipulan dan Rekomendasi


DAFTAR PUSTAKA
As'ad, M. 2003. Psikologi Industri: Seri Sumber Daya Manusia. Yogjakarta: Liberty. Heidjrachman dan Suad Husnan, 2002, Manajemen Personalia. Yogjakarta: BPFE
Ali, Muhammad, 1987, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru: Bandung Armstrong, M. 1994. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Media Kompetindo,

Ashton, Patricia T Rodman B Webb; 1986, Making A Difference:Teacher’s Sense of Efficacy and Student Achievment,Longman Inc, New York
Bandura. Albert (1977). Self efficacy, Toward a unifying theory of behavioural change, Psychology review
1982, Self Efficacy Mechanism in Human Agency, American Psyichologist, 37, (2), 122-147
1986, Sosial Foundations of Thougth and Action: A Social Cognitive Theory, Englewood Ckliffs, NJ, Prentice Hall, Inc; New York
1986. Social Fondation Of Though and Action : a. Social Teory. Anglewood Cliffs, NJ : Prentice Hall.
1994. Self-Efficacy. Encyclopedia of Human Behavior,Vol..4:71-81.
1997. Self-Efficacy : The Exercise of Control. New York : Freeman.
Chen, G., Gully, S. M., Whiteman, J., & Kilcullen, R. N. (2000). Examination of relationships among trait-like individual differences, state-like individual differences, and learning performance. Journal of Applied Psychology, 85, 835–847.
Chourmain,Imam, 1999, “ Peningkatan KInerja Dosen untuk Peningkatan Mutu Lulusan Pendidikan Tinggi Menuju Sumber Daya Manusia Berkualitas,” Makalah disampaikan dalam seminar Lustrum VII IKIP Jakarta, 27 April 1999, p. 1-3
Dworetzky , John.P, 1988, Psyichology (St Paul: West Publishing Company,)
Darwis, S, 1979, Pengantar Kepada Teori dan Praktek Pengajaran, IKIP Semarang Press
Dwi Maryani, Bambang Supomo. (2001). Studi empiris pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja individual, Jurnal bisnis dan akuntansi, Vol. 3, No.1, 367-376.
Feldam, Robert S. 1989, Essentials of Understanding Psychology, New York: McGraw-Hill, Inc
Gomes, Faustino Caroso, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offset
Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogjakarta: BPFE,
Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogjakarta: BPFE
Herwanto, John. 2004. Hubungan Kecerdasan Emosional dan Efikasi Diri Dengan Stress Kerja Pada Karyawan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Tesis PS-Psikologi, Program Pasca Sarjana-Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (Unpublished)
Kohl, H, R,1984, Growing Mind:On Becoming a Teacher, Harper & Row, New York
…..1976,On Teaching, Schocher Book, New York, Harper & Row, New York
Lapp, Diane et al, 1985, Teaching and Learning ( New York: Macmillan Publisher Co. Inc
Lee, C., and Bobko, P. 1994. Self-Efficacy Belief : Comparison of Five Measures. Journal of Applied Psychology, Vol. 79 : 364 ? 369.
Locke, E. A.,&Latham, G. P. (1990). A theory of goal setting and task performance. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Mathius, Robert L. dan John H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Salemba Empat,), p.83
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. (2001). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Mathius, Robert L. dan John H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Salemba Empat,),
Mueller, Daniel G. 1986, Mesuring Social Attitude New York: Teacher College Press
Martoyo, S. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogjakarta: BPFE, H.142
Midgley , et al, 1989, Change in Teacher Efficacy and Student Self and Student Self and Task Related Beliefs in Mathematics During the Transition to Junior High School, Journal of Educational Psychology, 81, (2) 247 – 258
Nease, Anjanette A., Mudgett Brad O, and Quinones Miguel A. 1999. Relationship Among Feedback Sign, Self-Efficacy and Acceptance of Performance Feedback. Journal of Applied Psychology, 84 (5) : 806 ? 814.
Phillips, J. M., & Gully, S.M. (1997). Role of goal orientation, ability, need for achievement, and locus of control in the self-efficacy and goal-setting process. Journal of Applied Psychology, 82, 792–802.
Rakhmat, Jalaludin 1996, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Robbins, Stephen P. 2007, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indeks, Cet. Ke-2
Slameto, 1988, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, PT Bina Aksara, Jakarta
Stajkovic, A. D., & Luthans, F. (1998). Self-efficacy and work related performance: A meta-analysis. Psychological Bulletin, 124, 240–261.
Sugiono, 2001. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan Ketiga. Bandung. Penerbit Alfabeta.
......, 2004. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan Keempat. Bandung. Penerbit Alfabeta.

Sule, E. 2002. “Keterkaitan antara Kepuasan Kerja Karyawan dan Kepuasan Pelanggan dengan Kinerja Perusahaan” dalam Jurnal Akuntansi dan Manajemen Vol.2, No.2, STIE YKPN, Yogjakarta
Timpe, A. Dale (Editor), 1993, Seri Ilmu dan Seni Manajemen Bisnis (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,)
…..2002, Seri Manajemen Sumber Daya Manusia (Kinerja),Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, H.10 Cet. Ke-5
Umar, Husein 1999, Riset SDM dalam Organisasi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
......2008. Desain Penelitian MSDM dan Perilaku Karyawan: Paradigma Positivistik dan Berbasis Pemecahan Masalah. Jakarta. Penerbit PT. Rajagrafindo Persada.
Woolfolk, Anita E, Wayne K Hoy, 1990, Prospective Teachers’ Sense of Efficacy and BeliefsAbout Control, Journal Of Educational Psychology, 82, (1), 81-91
Walker, James W. Human Resource Strategy (New York: Mc Graw Hill, Inc, 1992),













Ingin naik jabatan ?

Kira-kira apa yah yang jadi syarat untuk kita bisa naik pangkat or jabatan gitu.......ehhmm.... karena jujur kali .....bukan....profesional...lebih pandai.......lebih sempurna..... salah

Seseorang bisa naik jabatan karena mereka diangkat.... so jadi temukanlah alasan yang tepat untuk anda diangkat... dan ingat beda tempat beda alasan agar anda diangkat jabatannya...beda bos juga punya penilaian berbeda terhadap karyawannya yang ingin diangkat jabatannya

Jadi temukan alasannya agar anda diangkat dan berperilakulah seperti demikian dan kenalkanlah diri anda bahwa anda layak untuk diangkat..bahwa pribadi anda sudah pantas dan layak untuk diangkat karena mereka mengetahui bahwa kita adalah pribadi yang pantas
 
free search engine website submission top optimization